Tuesday 22 May 2012

Kasih Ibu


Oleh Wening Sekar Satiti
Copyright©2012

Suatu siang yang cerah di sebuah padang rumput yang hijau, duduk seorang anak perempuan yang memakai gaun berwarna kuning. Apa yang dilakukan anak itu, ya? Dia sedang bermain-main di padang rumput. Dia terlihat sedang berlari ke sana kemari mengejar seekor kupu-kupu cantik. Anak itu berlari dengan ringan dan sangat riang. Dia melepas sepatunya agar larinya menjadi lebih ringan.

Dari kejauhan, terdengar suara seorang wanita memanggil anak itu. Ah, ternyata namanya Ria. Ibunya memanggil Ria untuk makan siang. Wah, pasti senang ya jika Ibu memasakkan masakan istimewa untuk kita. Namun, Ria sedang asyik mengejar kupu-kupu sehingga dia tidak mendengar panggilan Ibunya.
Ibunya memanggil dengan lebih keras. Kali ini, Ibu keluar dari rumah untuk memanggil Ria. Ibunya terkaget. Ibu langsung berlari menghampiri Ria dengan wajah khawatir. Wah, apa yang dilihat Ibu sampai jadi kaget begitu?
Ternyata Ibu melihat Ria terjatuh. Ketika sedang asyik mengejar kupu-kupu, Ria tidak sadar kalau ada akar pohon di depannya sehingga Ria tersandung akar pohon dan terjatuh. Ria tidak menangis. Ria hanya meringkuk mendekap lututnya yang sakit. Ibu menghampiri Ria dan melihat bahwa lutut Ria lecet.
“Kau baik-baik saja Ria?”tanya Ibunya khawatir sambil melihat luka lecet di lutut Ria.
Ria hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibunya.
“Ayo, kita pulang. Ibu akan mengobati lututmu.”Ibu membantu Ria berdiri lalu memapahnya berjalan,”Hari ini Ibu masak makanan kesukaan Ria. Ria senang?”tanya Ibu menghibur.
Ria kembali hanya megangguk. Ria tersenyum manis menjawab pertanyaan Ibunya.
“Kakak sudah pulang. Siang ini kita makan bersama.”Ibu bercerita dengan girang.
Ria kembali tersenyum menanggapi Ibunya.
Ibu merasa sangat bahagia melihat senyum manis Ria yang selalu merekah.
“Nanti kita ajak Kakak bermain di bukit. Kau senang?”tanya Ibu lagi.
Ria mengangguk sambil tersenyum manis.
***
Ibu mendudukkan Ria di kursi makan. Ibu bergegas mengambbil air hangat dan kotak P3K untuk mengobati luka Ria. Pertama-tama, Ibu membersihakan luka Ria dengan air hangat. Kalian tahu bagaimana rasanya? Perih. Tapi Ria tidak merengek. Ria duduk diam melihat Ibunya mengurus luka Ria dengan sangat perhatian. Kemudian, Ibu membubuhkan obat merah di luka Ria lalu membalutnya agar terjaga dari debu.
“Sakit?”tanya Ibu setelah selesai mengobati luka Ria.
Ria menggeleng tapi wajahnya mengernyit seperti menahan perih.
Ibu tersenyum melihat Ria lalu mengusap kepalanya,”Anak pintar. Duduklah, Ibu akan panggil Kakak.”
Ria duduk tenang di meja makan. Ria mengamati masakan yang terhidang di depannya. Terlihat Ria tidak sabar untuk menikmati makanan di depannya. Tapi Ria tahu, dia harus menunggu Ibu dan Kakak.
***
“Ah, Ibu. Aku tak mau makan dengan Ria.”suara rengekan Kakak terdengar oleh Ria.
“Kakak tidak boleh begitu. Ria itu adik Kakak, mosok Kakak tidak mau makan dengan adiknya. Ayo, kita makan bersama.”bujuk Ibu dengan lembut.
“Ibu, aku tidak mau. Ibu tahu sendiri bagaimana berantakannya Ria setiap kali makan. Dia suka memainkan makanannya lalu menyemburkan padaku. Itu menjijikkan Ibu.”kata Kakak dengan suara keras.
“Kakak, kenapa bicara seperti itu? Kakak tahu itu karena Ria senang bisa makan dengan Kakak. Ria hanya ingin bergembira dengan Kakak.”bujuk Ibu.
“Aku tetap tidak mau makan dengan Ria. Titik.”Kakak bersikeras dengan kemuannya.
“Kakak, Ibu mohon ya. Ayo, makan dengan Ria. Dia sudah menunggu. Hari ini Ibu memasak makanan kesukaan Kakak.”Ibu tetap membujuk dengan lembut.
“Tidak mau. Aku tidak mau makan dengan Ria.”
“Demi Ibu, ya Kak. Ria pasti senang makan dengan Kakak.”lembut Ibu meminta pada Kakak.
“Tapi aku tidak senang makan bersama adik yang cacat mental seperti Ria.”Kakak berteriak. Dia membanting pintu kamarnya meninggalkan Ibu yang merasa sangat kaget di depan pintu.
Ria terduduk diam menundukkan kepala. Dia tidak mengerti dengan apa yang didengarnya tapi dia memahami perasaan yang tersampaikan dari nada bicara kedua anggota keluarganya itu.
***
Sore berganti malam. Ria tertidur dengan pulas setelah seharian bermain di bukit. Ibu menyelimuti Ria yang tidur dengan tenang. Ibu berjalan menuju kamar Kakak.
Suara ketukan di pintu terdengar. Kakak membukakan pintu kamarnya, terdiam di sana. Kakak tahu apa yang akan dikatakan Ibu.
“Apakah Kakak benar-benar membenci Ria?”tanya Ibu dengan lembut. Ulah apapun yang Kakak perbuat, Ibu tidak pernah membentak. Ibu selalu berbicara dengan lembut dan halus.
Kakak terdiam berdiri di samping pintu yang terbuka bersandar pada tembok.
“Boleh Ibu masuk?”tanya Ibu kemudian.
Kakak mengangguk, mempersilakan Ibu masuk ke kamarnya.
“Kakak sudah besar. Kamar Kakak terlihat sangat rapi dan bersih. Kakak sudah bisa membereskan kamar sendiri. Ibu bangga.”Ibu memulai percakapan.
“Ibu . . .”celetuk Kakak.
“Kakak sudah 12 tahun. Ibu yakin Kakak sudah mulai mengerti banyak hal. Ibu boleh bicara?”tanya Ibu dengan lembut. Ibu menepuk tempat di sebelahnya agar Kakak duduk di sana.
Kakak berjalan menuju tempat Ibu duduk di tempat tidurnya,”Tentang Ria?”
“Ibu hanya ingin bertanya kenapa Kakak tidak mau makan atau bermain dengan Ria. Bukankah Kakak dulu sangat senang ketika tahu Ibu mengandung Ria?”Ibu mendekap Kakak dengan hangat.
“Aku sangat ingin punya adik. Tapi . . .”Kakak terdengar enggan melanjutkan.
“Tapi kenapa? Tidak apa-apa, katakan saja pada Ibu.”Ibu membelai rambut Kakak dengan lembut.
“Aku tak ingin punya adik cacat yang tidak bisa kuajak bermain. Dia hanya bisa mengganggu dan mengacaukan semuanya. Aku malu pada teman-temanku, Bu.”Kakak bercerita dengan suara lirih. Kakakpun merasa menyesal telah berpikiran seperti itu terhadap adiknya.
Ibu terdiam lama. Pernah terpikir oleh Ibu mungkin Kakak malu pada kondisi Ria, tapi mendengar langsung dari mulut Kakak terasa sangat berbeda dengan hanya memikirkannya semata.
Kakak menatap Ibu lama. Kakak berharap Ibu mengatakan sesuatu yang lembut dan tidak akan menyalahkan Kakak karena telah berpikiran seperti itu. Kakak tahu itu salah, tapi Kakak tidak dapat menahan rasa malu dan jengkelnya terhadap Ria. Kakak juga merasa kecewa karena adik yang ditunggunya selama tujuh bulan lebih itu ternyata terlahir dalam kondisi cacat mental.
“Ibu mengerti perasaan Kakak. Tapi Ibu berharap Kakak dapat menyayangi Ria bagaimanapun keadaannya. Ayah dan Ibu juga merasa sulit dengan keadaan Ria, tapi jika kita mengatasinya bersama dan memperlakukan Ria dengan peuh kasih, Ibu yakin Kakak tidak akan merasa malu pada Ria dan Kakak akan menemukan hal-hal positif dari Ria. Kakak mau mencobanya?”kata Ibu.
Kakak berpikir lama, namun akhirnya menjawab,”Akan kucoba, Bu.”
Ibu memeluk Kakak dengan hangat,”Ibu sayang kalian.”

No comments:

Post a Comment