Oleh
Wening Sekar Satiti
Copyright©2012
Suatu
siang yang cerah di sebuah padang rumput yang hijau, duduk seorang anak
perempuan yang memakai gaun berwarna kuning. Apa yang dilakukan anak itu, ya?
Dia sedang bermain-main di padang rumput. Dia terlihat sedang berlari ke sana
kemari mengejar seekor kupu-kupu cantik. Anak itu berlari dengan ringan dan
sangat riang. Dia melepas sepatunya agar larinya menjadi lebih ringan.
Dari
kejauhan, terdengar suara seorang wanita memanggil anak itu. Ah, ternyata namanya
Ria. Ibunya memanggil Ria untuk makan siang. Wah, pasti senang ya jika Ibu
memasakkan masakan istimewa untuk kita. Namun, Ria sedang asyik mengejar
kupu-kupu sehingga dia tidak mendengar panggilan Ibunya.
Ibunya
memanggil dengan lebih keras. Kali ini, Ibu keluar dari rumah untuk memanggil
Ria. Ibunya terkaget. Ibu langsung berlari menghampiri Ria dengan wajah
khawatir. Wah, apa yang dilihat Ibu sampai jadi kaget begitu?
Ternyata
Ibu melihat Ria terjatuh. Ketika sedang asyik mengejar kupu-kupu, Ria tidak
sadar kalau ada akar pohon di depannya sehingga Ria tersandung akar pohon dan
terjatuh. Ria tidak menangis. Ria hanya meringkuk mendekap lututnya yang sakit.
Ibu menghampiri Ria dan melihat bahwa lutut Ria lecet.
“Kau
baik-baik saja Ria?”tanya Ibunya khawatir sambil melihat luka lecet di lutut
Ria.
Ria
hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibunya.
“Ayo,
kita pulang. Ibu akan mengobati lututmu.”Ibu membantu Ria berdiri lalu
memapahnya berjalan,”Hari ini Ibu masak makanan kesukaan Ria. Ria senang?”tanya
Ibu menghibur.
Ria
kembali hanya megangguk. Ria tersenyum manis menjawab pertanyaan Ibunya.
“Kakak
sudah pulang. Siang ini kita makan bersama.”Ibu bercerita dengan girang.
Ria
kembali tersenyum menanggapi Ibunya.
Ibu
merasa sangat bahagia melihat senyum manis Ria yang selalu merekah.
“Nanti
kita ajak Kakak bermain di bukit. Kau senang?”tanya Ibu lagi.
Ria
mengangguk sambil tersenyum manis.
***
Ibu
mendudukkan Ria di kursi makan. Ibu bergegas mengambbil air hangat dan kotak
P3K untuk mengobati luka Ria. Pertama-tama, Ibu membersihakan luka Ria dengan
air hangat. Kalian tahu bagaimana rasanya? Perih. Tapi Ria tidak merengek. Ria
duduk diam melihat Ibunya mengurus luka Ria dengan sangat perhatian. Kemudian,
Ibu membubuhkan obat merah di luka Ria lalu membalutnya agar terjaga dari debu.
“Sakit?”tanya
Ibu setelah selesai mengobati luka Ria.
Ria
menggeleng tapi wajahnya mengernyit seperti menahan perih.
Ibu
tersenyum melihat Ria lalu mengusap kepalanya,”Anak pintar. Duduklah, Ibu akan
panggil Kakak.”
Ria
duduk tenang di meja makan. Ria mengamati masakan yang terhidang di depannya.
Terlihat Ria tidak sabar untuk menikmati makanan di depannya. Tapi Ria tahu,
dia harus menunggu Ibu dan Kakak.
***
“Ah,
Ibu. Aku tak mau makan dengan Ria.”suara rengekan Kakak terdengar oleh Ria.
“Kakak
tidak boleh begitu. Ria itu adik Kakak, mosok Kakak tidak mau makan dengan
adiknya. Ayo, kita makan bersama.”bujuk Ibu dengan lembut.
“Ibu,
aku tidak mau. Ibu tahu sendiri bagaimana berantakannya Ria setiap kali makan.
Dia suka memainkan makanannya lalu menyemburkan padaku. Itu menjijikkan
Ibu.”kata Kakak dengan suara keras.
“Kakak,
kenapa bicara seperti itu? Kakak tahu itu karena Ria senang bisa makan dengan
Kakak. Ria hanya ingin bergembira dengan Kakak.”bujuk Ibu.
“Aku
tetap tidak mau makan dengan Ria. Titik.”Kakak bersikeras dengan kemuannya.
“Kakak,
Ibu mohon ya. Ayo, makan dengan Ria. Dia sudah menunggu. Hari ini Ibu memasak
makanan kesukaan Kakak.”Ibu tetap membujuk dengan lembut.
“Tidak
mau. Aku tidak mau makan dengan Ria.”
“Demi
Ibu, ya Kak. Ria pasti senang makan dengan Kakak.”lembut Ibu meminta pada
Kakak.
“Tapi
aku tidak senang makan bersama adik yang cacat mental seperti Ria.”Kakak
berteriak. Dia membanting pintu kamarnya meninggalkan Ibu yang merasa sangat
kaget di depan pintu.
Ria
terduduk diam menundukkan kepala. Dia tidak mengerti dengan apa yang
didengarnya tapi dia memahami perasaan yang tersampaikan dari nada bicara kedua
anggota keluarganya itu.
***
Sore
berganti malam. Ria tertidur dengan pulas setelah seharian bermain di bukit.
Ibu menyelimuti Ria yang tidur dengan tenang. Ibu berjalan menuju kamar Kakak.
Suara
ketukan di pintu terdengar. Kakak membukakan pintu kamarnya, terdiam di sana.
Kakak tahu apa yang akan dikatakan Ibu.
“Apakah
Kakak benar-benar membenci Ria?”tanya Ibu dengan lembut. Ulah apapun yang Kakak
perbuat, Ibu tidak pernah membentak. Ibu selalu berbicara dengan lembut dan
halus.
Kakak
terdiam berdiri di samping pintu yang terbuka bersandar pada tembok.
“Boleh
Ibu masuk?”tanya Ibu kemudian.
Kakak
mengangguk, mempersilakan Ibu masuk ke kamarnya.
“Kakak
sudah besar. Kamar Kakak terlihat sangat rapi dan bersih. Kakak sudah bisa
membereskan kamar sendiri. Ibu bangga.”Ibu memulai percakapan.
“Ibu
. . .”celetuk Kakak.
“Kakak
sudah 12 tahun. Ibu yakin Kakak sudah mulai mengerti banyak hal. Ibu boleh
bicara?”tanya Ibu dengan lembut. Ibu menepuk tempat di sebelahnya agar Kakak
duduk di sana.
Kakak
berjalan menuju tempat Ibu duduk di tempat tidurnya,”Tentang Ria?”
“Ibu
hanya ingin bertanya kenapa Kakak tidak mau makan atau bermain dengan Ria.
Bukankah Kakak dulu sangat senang ketika tahu Ibu mengandung Ria?”Ibu mendekap
Kakak dengan hangat.
“Aku
sangat ingin punya adik. Tapi . . .”Kakak terdengar enggan melanjutkan.
“Tapi
kenapa? Tidak apa-apa, katakan saja pada Ibu.”Ibu membelai rambut Kakak dengan
lembut.
“Aku
tak ingin punya adik cacat yang tidak bisa kuajak bermain. Dia hanya bisa
mengganggu dan mengacaukan semuanya. Aku malu pada teman-temanku, Bu.”Kakak
bercerita dengan suara lirih. Kakakpun merasa menyesal telah berpikiran seperti
itu terhadap adiknya.
Ibu
terdiam lama. Pernah terpikir oleh Ibu mungkin Kakak malu pada kondisi Ria,
tapi mendengar langsung dari mulut Kakak terasa sangat berbeda dengan hanya
memikirkannya semata.
Kakak
menatap Ibu lama. Kakak berharap Ibu mengatakan sesuatu yang lembut dan tidak
akan menyalahkan Kakak karena telah berpikiran seperti itu. Kakak tahu itu
salah, tapi Kakak tidak dapat menahan rasa malu dan jengkelnya terhadap Ria.
Kakak juga merasa kecewa karena adik yang ditunggunya selama tujuh bulan lebih
itu ternyata terlahir dalam kondisi cacat mental.
“Ibu
mengerti perasaan Kakak. Tapi Ibu berharap Kakak dapat menyayangi Ria
bagaimanapun keadaannya. Ayah dan Ibu juga merasa sulit dengan keadaan Ria,
tapi jika kita mengatasinya bersama dan memperlakukan Ria dengan peuh kasih,
Ibu yakin Kakak tidak akan merasa malu pada Ria dan Kakak akan menemukan
hal-hal positif dari Ria. Kakak mau mencobanya?”kata Ibu.
Kakak
berpikir lama, namun akhirnya menjawab,”Akan kucoba, Bu.”
Ibu
memeluk Kakak dengan hangat,”Ibu sayang kalian.”
No comments:
Post a Comment