Oleh : Wening Sekar Satiti
Copyright©2012
“Kau
berdandan rapi sekali. Mau keluar?”tanya Ayah ketika melihatku.
“Yuchan
mengajakku makan malam. Dia akan menjemput jam enam sore.”jawabku singkat.
Aku
merasa sangat senang Yuchan mengajakku makan malam. Aku merasa sangat
tersanjung ketika dia memilihku. Walaupun begitu, sampai saat ini aku masih
merasa khawatir jika dia tiba-tiba berubah rasa lalu meninggalkanku. Aku hanya
merasa tak percaya diri.
“Benarkah
dia akan datang?”tanya Ayah lagi.
Aku
tidak yakin apa maksud pertanyaan Ayah. Apa itu artinya Ayah juga ragu bahwa
Yuchan sadar dan waras saat memilihku hingga dia malam ini benar-benar akan
datang menjemputku. Atau pertanyaan Ayah sebenarnya berarti apa Yuchan tahu
jalan menuju rumahku. Kecemasanku bertambah besar. Seolah Ayah juga meragukan
pilihan Yuchan padaku.
“Aku
yakin dia akan datang.”jawabanku jelas mengisyaratkan bahwa sebenarnya aku pun
ragu.
Ayah
menemaniku duduk di teras rumah menunggu Yuchan menjemputku. Malam ini aku
memakai gaun malam sederhana yang berwarna hitam. Aku tidak ingin terlalu
meriah. Aku hanya ingin terlihat sederhana tapi anggun, elegan, dan terhormat,
juga tetap menampilkan sisi kemudaanku. Aku memadukan gaun hitam dengan sepatu
tanpa hak berwarna hijau gelap pastel, sedikit aksesoris kalung panjang dengan
liontin owl coklat, tas tangan yang warnanya senada dengan sepatuku, dan
tatanan rambut sederhana yang kuikat di belakang membentuk sanggul sederhana.
Dandanan make-up-ku tidak terlalu meriah. Aku hanya memakai pelembab wajah,
eyeliner tipis, dan lipgloss bening. Aku bersyukur Tuhan mengaruniaiku kulit
sawo coklat bersih dengan bentuk mata proposional yang kata temanku seperti
biji almond yang indah. Sehingga aku tidak perlu banyak mengaplikasikan make
up.
Jam
terus berdetak dan perutku semakin mual. Ayah menemani dalam diam dan
keheningan ini membuatku semakin cemas. Jarum jam tepat menunjukkan pukul enam
lebih lima belas menit ketika aku berjalan ke gang untuk memastikan lagi apakah
Yuchan sudah sampai. Aku melihatnya di ujung gang yang berjarak kurang lebih 50
meter dari rumah. Tapi dia tidak berbelok masuk ke gang menuju rumahku. Dia
terus melajukan motornya ke arah selatan, berjalan lurus menyusuri jalan besar.
Kecemasanku sedikit berkurang. Ternyata pilihan Yuchan padaku serius. Dia belum
juga sampai karena tidak tahu pasti letak rumahku.
Aku
berjalan kembali menuju teras rumah. Dengan sadar aku tersenyum lega dan
senang. Mungkin Ayah menyadarinya.
“Jadi,
dia sudah sampai?”tanya Ayah tenang. Ekspresinya sama sekali tidak berubah.
“Dia
hanya tidak tahu di gang mana dia harus berbelok.”jawabku dengan senyum penuh.
Ayah
kembali diam. Beliau seakan lebih bisa menikmati semburat oranye senja kali
ini. Ada ekspresi keegaan yang terpancar dari sorot matanya yang menjadi lebih hangat.
Ayah pun merasakan hal yang sama denganku. Kami bisa mempercayai ketulusan dan
kesungguhan Yuchan. Begitulah ayahku. Bila kau tak teliti melihat perubahan
sorot mata Ayah, kau tak akan tahu apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan.
Itulah cara Ayah menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya pada keluarganya.
Kami
menunggu sedikit lebih lama ketika akhirnya Yuchan dapat menemukan rumahku.
“Kau
terlambat.”kataku menghampiri Yuchan yang sedang melepas jaket dan helm di motornya.
“Kau
tahu, rumahmu sulit ditemukan.”jawabnya lalu mengacak-acak rambutku.
“Hei,
aku butuh waktu lama untuk menata rambutku.”kataku protes. Tapi tidak apa-apa.
Lewat tangan besarnya yang hangat mengacak-acak rambutku, aku bisa merasakan
kasih sayang tulusnya padaku.
Kami
berjalan bersama menuju Ayah yang masih duduk di tempat. Ayah kemudian bangkit
berdiri menerima salam Yuchan. Sorot mata Ayah mengisyaratkan kelegaan
sekaligus kebahagiaan yang mendalam. Aku tahu Ayah juga suka pada Yuchan
meskipun ekspresinya tak banyak berubah.
Kami
mengobrol sebentar sampai akhirnya Yuchan meminta ijin Ayah mengajakku makan
malam. Sopan santun Yuchan meyakinkan hati Ayah untuk bisa mempercayakan anak
perempuannya.
“Hati-hati
di jalan. Jangan pulang terlalu malam.”pesan Ayahku. Lalu Ayah pamit masuk
duluan. Ayah tahu apa yang harus dilakukan untuk memberi kenyamanan pada kami.
Aku sayang ayahku.
Malam
ini Yuchan memakai kemeja merah bata yang lembut dengan jas abu-abu gelap tanpa
lengan. Dasinya juga berwarna abu-abu gelap senada dengan warna jas dan
celananya. Rambutnya disisir rapi. Dia mengenakan sepatu pantofel yang disemir
mengkilat. Walaupun memakai kemeja dan jas, tapi kesan kasualnya tetap nampak.
Kau bisa bayangkan dandanan seperti itu mengendarai motor laki-laki dengan
jaket kulit dan helm besar? Aku tak habis pikir bagaimana dandanannya masih
terlihat rapi.
Dia
menyadari aku sedang menatapnya kagum, “Jangan bilang kau makin terpesona
padaku.”dia tertawa kecil. Suara tawanya sangat lembut untuk ukuran laki-laki,
tapi tak selembut suara tawa seorang lady
sejati.
“Bicara
apa kau ini? Ayo berangkat.”kataku malu. Aku jadi salah tingkah. Aku tak mau
mengakui tapi dia memang kelihatan sangat mempesona. Pembawaan tubuhnya yang
gentle, kesopanan di tiap tutur kata dan gerak-gerik, harum wangi tubuhnya yang
lembut, dan bentuk tubuhnya yang bagus. Sungguhkah orang seperti ini memilihku?
Kami mengenakan jaket dan helm, lalu berangkat. Makan
malam pertama. Pertemuan pertama Yuchan dengan Ayah. Kali pertama Yuchan datang
ke rumah. Kencan pertama setel
wkwkwkwkwkwk....kiasha pribadi po nink,,,,,
ReplyDeleteudu, ha rung tau pacaran ki lho, hahai . . .
Deletetahu ngimpi pas kesensem Yuchun JYJ, hasyik . . .