Friday 25 May 2012

MENUNGGU KENCANKU DATANG


Oleh : Wening Sekar Satiti
Copyright©2012

            “Kau berdandan rapi sekali. Mau keluar?”tanya Ayah ketika melihatku.
            “Yuchan mengajakku makan malam. Dia akan menjemput jam enam sore.”jawabku singkat.
            Aku merasa sangat senang Yuchan mengajakku makan malam. Aku merasa sangat tersanjung ketika dia memilihku. Walaupun begitu, sampai saat ini aku masih merasa khawatir jika dia tiba-tiba berubah rasa lalu meninggalkanku. Aku hanya merasa tak percaya diri.
            “Benarkah dia akan datang?”tanya Ayah lagi.

            Aku tidak yakin apa maksud pertanyaan Ayah. Apa itu artinya Ayah juga ragu bahwa Yuchan sadar dan waras saat memilihku hingga dia malam ini benar-benar akan datang menjemputku. Atau pertanyaan Ayah sebenarnya berarti apa Yuchan tahu jalan menuju rumahku. Kecemasanku bertambah besar. Seolah Ayah juga meragukan pilihan Yuchan padaku.
            “Aku yakin dia akan datang.”jawabanku jelas mengisyaratkan bahwa sebenarnya aku pun ragu.
            Ayah menemaniku duduk di teras rumah menunggu Yuchan menjemputku. Malam ini aku memakai gaun malam sederhana yang berwarna hitam. Aku tidak ingin terlalu meriah. Aku hanya ingin terlihat sederhana tapi anggun, elegan, dan terhormat, juga tetap menampilkan sisi kemudaanku. Aku memadukan gaun hitam dengan sepatu tanpa hak berwarna hijau gelap pastel, sedikit aksesoris kalung panjang dengan liontin owl coklat, tas tangan yang warnanya senada dengan sepatuku, dan tatanan rambut sederhana yang kuikat di belakang membentuk sanggul sederhana. Dandanan make-up-ku tidak terlalu meriah. Aku hanya memakai pelembab wajah, eyeliner tipis, dan lipgloss bening. Aku bersyukur Tuhan mengaruniaiku kulit sawo coklat bersih dengan bentuk mata proposional yang kata temanku seperti biji almond yang indah. Sehingga aku tidak perlu banyak mengaplikasikan make up.
            Jam terus berdetak dan perutku semakin mual. Ayah menemani dalam diam dan keheningan ini membuatku semakin cemas. Jarum jam tepat menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit ketika aku berjalan ke gang untuk memastikan lagi apakah Yuchan sudah sampai. Aku melihatnya di ujung gang yang berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah. Tapi dia tidak berbelok masuk ke gang menuju rumahku. Dia terus melajukan motornya ke arah selatan, berjalan lurus menyusuri jalan besar. Kecemasanku sedikit berkurang. Ternyata pilihan Yuchan padaku serius. Dia belum juga sampai karena tidak tahu pasti letak rumahku.
            Aku berjalan kembali menuju teras rumah. Dengan sadar aku tersenyum lega dan senang. Mungkin Ayah menyadarinya.
            “Jadi, dia sudah sampai?”tanya Ayah tenang. Ekspresinya sama sekali tidak berubah.
            “Dia hanya tidak tahu di gang mana dia harus berbelok.”jawabku dengan senyum penuh.
            Ayah kembali diam. Beliau seakan lebih bisa menikmati semburat oranye senja kali ini. Ada ekspresi keegaan yang terpancar dari sorot matanya yang menjadi lebih hangat. Ayah pun merasakan hal yang sama denganku. Kami bisa mempercayai ketulusan dan kesungguhan Yuchan. Begitulah ayahku. Bila kau tak teliti melihat perubahan sorot mata Ayah, kau tak akan tahu apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan. Itulah cara Ayah menunjukkan kasih sayang dan kepeduliannya pada keluarganya.
            Kami menunggu sedikit lebih lama ketika akhirnya Yuchan dapat menemukan rumahku.
            “Kau terlambat.”kataku menghampiri Yuchan yang sedang melepas jaket dan helm di motornya.
            “Kau tahu, rumahmu sulit ditemukan.”jawabnya lalu mengacak-acak rambutku.
            “Hei, aku butuh waktu lama untuk menata rambutku.”kataku protes. Tapi tidak apa-apa. Lewat tangan besarnya yang hangat mengacak-acak rambutku, aku bisa merasakan kasih sayang tulusnya padaku.
            Kami berjalan bersama menuju Ayah yang masih duduk di tempat. Ayah kemudian bangkit berdiri menerima salam Yuchan. Sorot mata Ayah mengisyaratkan kelegaan sekaligus kebahagiaan yang mendalam. Aku tahu Ayah juga suka pada Yuchan meskipun ekspresinya tak banyak berubah.
            Kami mengobrol sebentar sampai akhirnya Yuchan meminta ijin Ayah mengajakku makan malam. Sopan santun Yuchan meyakinkan hati Ayah untuk bisa mempercayakan anak perempuannya.
            “Hati-hati di jalan. Jangan pulang terlalu malam.”pesan Ayahku. Lalu Ayah pamit masuk duluan. Ayah tahu apa yang harus dilakukan untuk memberi kenyamanan pada kami. Aku sayang ayahku.
            Malam ini Yuchan memakai kemeja merah bata yang lembut dengan jas abu-abu gelap tanpa lengan. Dasinya juga berwarna abu-abu gelap senada dengan warna jas dan celananya. Rambutnya disisir rapi. Dia mengenakan sepatu pantofel yang disemir mengkilat. Walaupun memakai kemeja dan jas, tapi kesan kasualnya tetap nampak. Kau bisa bayangkan dandanan seperti itu mengendarai motor laki-laki dengan jaket kulit dan helm besar? Aku tak habis pikir bagaimana dandanannya masih terlihat rapi.
            Dia menyadari aku sedang menatapnya kagum, “Jangan bilang kau makin terpesona padaku.”dia tertawa kecil. Suara tawanya sangat lembut untuk ukuran laki-laki, tapi tak selembut suara tawa seorang lady sejati.
            “Bicara apa kau ini? Ayo berangkat.”kataku malu. Aku jadi salah tingkah. Aku tak mau mengakui tapi dia memang kelihatan sangat mempesona. Pembawaan tubuhnya yang gentle, kesopanan di tiap tutur kata dan gerak-gerik, harum wangi tubuhnya yang lembut, dan bentuk tubuhnya yang bagus. Sungguhkah orang seperti ini memilihku?
            Kami mengenakan jaket dan helm, lalu berangkat. Makan malam pertama. Pertemuan pertama Yuchan dengan Ayah. Kali pertama Yuchan datang ke rumah. Kencan pertama setel

2 comments:

  1. wkwkwkwkwkwk....kiasha pribadi po nink,,,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. udu, ha rung tau pacaran ki lho, hahai . . .
      tahu ngimpi pas kesensem Yuchun JYJ, hasyik . . .

      Delete