Sabtu pagi itu, anakku mengirim sebuah pesan yang tidak kumengerti.
“Ibu, minggu depan aku mengajak tiga orang rekanku. Mereka ingin bertemu
dengan Ayah dan Ibu. Hari Kamis aku pulang membantu Ibu melakukan
persiapan untuk menyambut mereka. Oh ya, aku mengirimkan pakaian baru
untuk Ayah dan Ibu. Apakah sudah sampai? Tolong dipakai saat tamu-tamuku
datang. Aku ingin mengenalkan mereka pada Ayah dan Ibu. Mereka sangat
penting untukku.” Ayah sudah pergi kerja satu jam yang lalu. Anak
pertamaku, Ratna, sudah menikah dan sekarang tinggal dengan suaminya.
Aku ingin menelepon Ratih menanyakan langsung apa maksud pesannya. Tapi
dia pasti sedang sibuk. Ini hari aktif sekolah, pasti dia sedang
mengajar. Dia baru bisa diganggu siang nanti. Jadi, aku melanjutkan
aktivitasku sambil terus mencari jawaban siapa yang diundang anak
keduaku itu.
*** ”Halo, Assalamu’alaikum.” Akhirnya Ratih mengangkat teleponku.
”Wa’alaikumsalam. Ada apa, Bu?” ”Ibu hanya ingin tanya, siapa
tamu-tamumu besok? Ibu penasaran, Nak.” ”Calon besan dan menantumu, Bu.”
lalu dia menutup telepon. Aku sangat kaget. Anak keduaku, Ratih, sejak
kecil selalu berambisi untuk mengalahkan teman laki-lakinya. Dia selalu
berhasil mengalahkan teman laki-lakinya berkelahi. Bahkan dalam
pertandingan bola satu lawan satu. Aku sempat khawatir dengan keadaan
Ratih yang seperti itu. Bahkan, pernah ketika kelas 6 SD dia bilang tak
mau menikah. Itu membuatku semakin khawatir, jangan-jangan anakku
penyuka sesama jenis. Tapi, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak
pernah berlaku aneh yang menunjukkan bahwa dia penyuka sesama jenis.
Kehidupannya normal-normal saja. Itu membuatku sedikit lega. Dan yang
aku takutkan sekarang, jangan-jangan kekhawatiranku selama ini akan
terjadi. Tiga orang tamu penting yang akan diperkenalkan dengan orang
tuanya, calon besan dan calon menantu. Bagaimana bila ternyata calon
menantuku itu perempuan. Tapi itu tak mungkin. Pastinya orang tua
perempuan itu tidak setuju dengan pertemuan ini. Jadi, pastinya calon
menantuku adalah seorang laki-laki. Ah, seharusnya aku tak memikirkan
hal yang aneh-aneh sebelum tahu kepastiannya. Tapi, kenapa anakku
terburu-buru menutup telepon jika calon suaminya adalah laki-laki. Dia
tak pernah semalu itu sebelumnya. Aku masih saja berpikiran ngawur.
Seharusnya aku gembira mendengar anakku akan mengenalkan calon suaminya.
Umurnya sudah 25 tahun tapi, dia tak kunjung mengenalkan calonnya.
Setiap menghadiri pertemuan keluarga, anakku Ratih yang akan menjadi
sorotan. Kapan menikah adalah pertanyaan yang selalu bude dan bulek-nya
lontarkan. Aku sebagai ibunya juga tak habis pikir dengan anakku
sendiri. Sepupu-sepupu perempuannya rata-rata menikah di usia 23 tahun.
Kakaknya malah menikah di usia 22 tahun. Tapi, anakku yang satu ini
sudah 25 tahun belum juga menunjukkan tanda-tanda kasmaran. Ini
membuatku makin khawatir. Apalagi anak keduaku ini jarang bercerita
tentang teman-temannya, tentang siapa saja yang dia kenal. Dia anak yang
kuat, secara fisik maupun mental. Walaupun tidak pernah bercerita tapi
dia tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Dia selalu meminta ijin
jika akan bepergian atau ingin melakukan sesuatu. Tapi hanya sebatas
ijin, tidak menceritakan detailnya. Dan berita yang satu ini sangat
mengejutkanku. Tiba-tiba saja sekarang dia akan mengenalkan calon suami
dan calon mertuanya. Aku segera menelepon ayah. Selalu berusaha berpikir
bahwa calon menantuku adalah seorang laki-laki. ”Halo,
Assalamu’alaikum, Ayah.” sapaku terburu-buru. ”Wa’alaikumsalam, Ibu. Ada
apa?” Ayah selalu terdengar tenang. ”Minggu depan anak kita akan
memperkenalkan calon suami dan calon mertuanya.” aku benar-benar heboh,
tak sabar menunggu tanggapan dari ayah. ”Siapa? Ratih?” bahkan ayah pun
sama tak percayanya denganku. ”Yang mana lagi, Ayah. Anak kita hanya dua
dan yang satu sudah menikah.” ”Benarkah?” tetap saja suara ayah
setenang air di laut. ”Benar, Ayah. Anak kedua kita Ratih.” Aku senang
ketika ayah juga sama kagetnya denganku. ”Dengan siapa, Bu?” pertanyaan
sulit ini akhirnya harus kudengar. ”Ibu juga belum tahu.” kehebohanku
mereda mendengar pertanyaan itu,”Tadi, Ratih menutup teleponnya begitu
saja setelah menyatakan rencananya itu.” lanjutku.
*** ”Ibu, apa aku sudah kelihatan rapi?” Anakku ini pasti sangat
gugup. Dan aku senang karena akhirnya dia menikah. ”Rapi dan cantik
sekali.” Hari ini calon menantu dan calon besanku datang. Dua hari yang
lalu Ratih pulang. Dia menceritakannya pada kami. Dan aku lega karena
calon pendamping hidup anakku adalah laki-laki. Tapi, dia belum
menceritakan banyak hal tentang calonnya ini. Dia hanya bercerita
tentang pertemuan mereka. Anakku yang seorang guru SD di sebuah sekolah
negeri di luar kota ini bertemu dengan calon suaminya yang seorang
kepala sekolah muda yang akan bekerja di sekolahnya. Katanya, calon
suaminya ini adalah anak seorang anak angkat. Tepat pukul sepuluh siang
seperti yang dijanjikan, tamu kami datang. Mobil sedan merah menderu
memasuki halaman rumah kami yang cukup luas. Aku dan ayah berdiri di
teras menunggu tamu kami keluar mobil, sementara Ratih menghampiri mobil
yang berhenti dan membukakan pintu mobil untuk calon ibu mertuanya. Aku
dan ayah berpandangan saling kaget. Calon besan kami adalah orang
Jepang. Mereka menghampiri dan menjabat tangan kami lalu membungkukkan
badan. Kami balas membungkuk.
No comments:
Post a Comment