“Jia!”panggil Ibu dari dapur.
“Iya, tunggu sebentar, Bu.” Sepertinya Ibu sudah tak sabar lagi ingin aku segera datang.
Aku berjalan pelan menuju dapur tempat Ibu
sedang memasak. Siang hari adalah waktu bagi Ibuku memasak untuk makan
siang sekaligus makan malam.
“Hari ini mau masak apa Bu?”tanyaku setelah sampai di dapur. Sudah tersedia banyak jenis sayuran dan bumbu di meja dapur.
“Sayur sop saja ya, Jia. Tadi pagi kan sudah masak daging.”jawab Ibu sambil mengupas bawang.
“Uhm, baiklah.”jawabku sekenanya lalu mulai
mengambil sayuran yang ada lalu membawanya ke sumur. Setiap siang aku
selalu membantu Ibuku memasak. Itu membuatku hafal apa yang harus
kukerjakan.
Memasak itu menyenangkan, tidak susah, tapi
tetap tergantung perasaan. Kalau kita masak saat perasaan hati sedang
marah, rasa masakannya akan campur aduk. Jika kita memasak saat perasaan
hati sedang tidak bersemangat, rasa masakannya akan jadi hambar. Dan
ketika perasaan kita terlalu senang saat memasak, rasa masakannya akan
jadi terlalu asin. Aku sering mengalaminya di awal. Tapi sekarang
tubuhku sudah mulai dapat mengingat takaran bumbu yang tepat agar rasa
masakan enak.
Selain pandai memasak, aku juga pandai
membereskan rumah. Ibu dan Ayahku selalu bilang bahwa anak perempuan
harus pintar mengurus rumah demi masa depan tinggal bersama suami agar
suami betah di rumah. Kakak perempuanku, Minah, sudah menikah dan
kehidupannya terlihat sangat bahagia. Kakakku adalah seorang ibu rumah
tangga yang setia pada suami dan sosok manager rumah tangga yang handal
(haha..manager. Kau boleh tertawa kalau mau). Dia sudah punya satu anak
sekarang, namanya Ical. Umurnya masih dua tahun dan dia sangat nakal.
Kata Kakak, Ical tidak nakal, hanya terlalu aktif. Ibu dan Kakakku
bilang menjadi ibu adalah kebahagiaan sejati seorang wanita. Aku tetap
saja tak mengerti.
Aku adalah seorang
siswa SMA yang sedang gandrung membaca komik. Bagiku, membaca komik
adalah kebahagiaan sejati. Bisa dibilang, asalkan aku bisa membaca komik
selama sisa masa hidupku, aku pasti akan sangat bahagia. Terkadang
perasaan bahagia itu datang ketika hal itu dilakukan sembunyi-sembunyi.
Begitulah yang terjadi. Ayahku adalah seorang yang hidup di jaman kuno
(teman-temanku yang bilang begitu). Ayah paling tidak suka melihat anak
sekolahan yang kerjaannya hanya membaca komik, alih-alih membaca buku
teks pelajaran untuk mempersiapkan masa depan. Bagiku masa depan itu
pasti; kerja, menikah, punya anak, dan mungkin aku akan bisa mengerti
kebahagiaan sejati seperti yang Ibu dan Kakakku katakan.
Aku tidak mungkin
membawa komik ke rumah atau Ayahku akan melarangku pulang sore. Pulang
sore adalah waktu istimewa buatku. Aku tidak berbohong karena aku tidak
mengatakan apa-apa, tapi Ayahku mengira setiap aku pulang sore karena
aku mengikuti kegiatan organisasi di sekolah. Sebenarnya? Tentu saja
tidak. Aku pulang lebih telat 2 jam dari jam pulang sekolah karena aku
mampir ke rental komik terlebih dulu. Itu kebahagiaan terbesarku.
***
Pelajaran Sastra
Indonesia. Pelajaran ini mudah, kau tak perlu sampai mengerutkan dahi
untuk memahami bahasa karena bahasa adalah alat komunikasi. Kau
mengerti? Hahaha…
Hari ini, guru
Sastra kami sedang cuti karena sakit. Kasihan guruku itu, dia mengidap
sakit bulanan jadi tiap bulan sekali dia pasti ijin tidak masuk mengajar
kami. Guruku yang satu itu selalu mengatakan pada kami tentang
keinginannya agar pemerintah membuat libur haid untuk wanita. Well, mungkin untuk yang haid hari pertamanya sakit hal itu penting. Tapi aku pasti senang kalau libur itu benar-benar ada.
Guru pengganti-yang-tidak-tahu-banyak-harus-mengajar-apa itu masuk dengan memberikan tugas mengarang pada kami.
“Karena Bu Fatma
tidak mengajar hari ini dan aku tidak mendapat pesan apa-apa dari
Beliau, jadi hari ini kalian mengarang saja. Keluarkan semua kemampuan
berbahasa dan bersastra kalian dalam karangan ini. Pasti akan
menyenangkan.”kata Guru pengganti. Dia adalah guru honorer yang
kerjaannya menggantikan tugas guru yang sedang ada halangan hadir untuk
mengajar. Kasihan dia, masih muda dan pekerjaannya sangat tidak
menyenangkan. Sekolahku termasuk sekolah yang tidak membutuhkan terlalu
banyak karyawan dan guru karena semua posisi sudah ada yang menempati.
“Baik, Pak.”jawab kami serempak.
“Apakah temanya bebas?”tanya salah satu teman sekelasku.
“Hm…”Guru pengganti
itu menyilangkan tangannya di perut, terlihat seperti sedang berpikir
serius (aku heran kenapa dia harus terlalu serius memikirkan pertanyaan
itu),”Aha…Bagaimana kalau temanya ‘Cita-cita’, tuliskan apa yang ingin
kalian capai di masa depan. Bukankah sekarang sedang ngetren
cerita-cerita yang bertemakan mimpi dan harapan. Kalau tulisan kalian
bagus, siapa tahu ada yang mau mempublikasikannya.”Guru pengganti itu
terlihat tersenyum puas dengan idenya. Sekarang aku paham kenapa dia
jadi guru honorer.
Dan sekarang, di
sinilah kami sedang mengerjakan tugas mengarang yang katanya
menyenangkan itu. Jika temanya adalah hal apa yang paling membahagiakan,
aku pasti dapat mengerjakannya dengan lancar. Ada banyak hal yang bisa
kutulis tentang komik dan betapa perasaan bahagia meletup dalam darahku
setiap kali aku membacanya. Baiklah, memang tidak semua jenis komik
dapat memberikan perasaan itu. Aku pernah membaca sebuah komik yang
bercerita tentang masa orientasi sekolah dimana si tokoh utama naksir
kakak tingkat yang mengospeknya, tapi aku sama sekali tidak menikmati
cerita seperti itu, sangat membosankan.
Jadi sekarang, apa
yang aku tulis. Mungkin sebaiknya aku tulis saja bahwa cita-citaku
adalah hidup bahagia dengan finansial yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan cukup untuk membeli komik. Well, pada akhirnya itulah yang kutulis.
***
Aku tidak tahu kalau
guru BKku adalah orang yang kurang kerjaan. Kupikir dia terlalu sibuk
untuk mengurusi hal remeh ini. Kau percaya, dia memanggilku gara-gara
karanganku kemarin. Aku sangat tidak mengerti apa pentingnya mengurusi
karanganku sementara masih banyak teman-temanku yang punya masalah lebih
serius untuk mereka tangani, misalnya saja si Bobi gendut yang suka
tidur di kelas, atau si Indra krempeng yang hobinya manjat pagar sekolah
untuk membolos. Tapi tidak dengan guru BKku, mereka menganggap isi
karanganku adalah masalah besar sampai mereka harus memanggilku.
“Permisi.”kataku sambil mengetuk pintu kantor BK.
“Ah, Jia. Ayo masuk.
Duduklah dulu, aku sedang mengurusi surat keterangan kakak tingkatmu.
Mereka akan mendaftar di perguruan tinggi. Betapa menyenangkannya
membantu mereka meraih masa depan.”cericau guru Bkku.
Aku masuk lalu duduk
di sofa yang ada di dekatku. Kantor BK sangat mewah, ada sofa bagus di
ruang tunggunya, sangat empuk dan nyaman. Mungkin untuk membangun kesan
bahwa BK adalah tempat yang nyaman untuk ngobrol terutama untuk curhat
permasalahan remaja dengan gurunya. Yapari, aku sangat tidak tertarik.
Kantor BK ukurannya
setengah kali lebih ukuran kantor Guru, tapi bisa dibilang cukup luas
untuk menjadi kantor tiga orrang guru BK. Ruangan ini dibagi menjadi
tiga; tempat duduk guru BK, ruang tunggu, dan ruang kerja guru BK.
Mereka disekat hanya dengan dinding tripleks. Walaupun begitu, ruang
tunggunya dibuat begitu mewah, serasa berada di rumah Anya si anak orang
kaya dengan sofa bagus yang empuk, lukisan yang katanya membuatmu
tenang, akuarium ikan yang memenuhi setengah dinding dekat pintu, dan
tempat dispenser minum dengan gelas plastik dan cangkirnya. Bahkan
ruangan ini punya karpet halus dan lembut. Aku pernah berpura-pura
menjatuhkan pulpenku untuk meraba karpet itu dan rasanya benar-benar
halus dan lembut.
“Maaf, menunggu agak
lama Jia. Ada banyak kakak kelasmu yang mendaftar di perguruan
tinggi.”katanya dengan senyum penuh semangat dan mata berbinar,
menyilaukan.
Aku hanya mengangguk sambil membuat senyum simpul di bibirku.
“Jadi, kau tahu kenapa aku memanggilmu kemari?”tanyanya memulai.
“Tidak, Pak. Saya
tidak yakin Bapak memanggil saya kemari hanya gara-gara karangan saya
kemarin.”jawabku. langsung saja kukatakan padanya.
“Ya, itu benar. Aku
memanggilmu karena karanganmu itu.”jawabnya dengan air muka yang tak
berubah, masih dengan mata berbinar dan senyum semangat yang menyilaukan
itu. Aku penasaran, apakah guruku ini pernah redup.
“Apa masalahanya, Pak?”tanyaku kemudian.
“Ini serius, Jia.”
***
Entah apa yang aku
pikirkan sekarang. Hari ini aku merasa malas mampir ke rental komik.
Akhirnya aku berjalan pulang ke rumah tepat waktu. Ibu menyambut dengan
senyum hangat dan menawarkan kue bolu kesukaanku.
“Tidak Ibu, terima
kasih.”aku jawab dengan tidak semangat. Aku langsung menuju kamarku.
Rasanya seperti dihujam tusukan pisau. Kata-kata guru BK yang tidak
kumengerti tapi tiba-tiba saja mempengaruhiku dengan begitu kuatnya.
“Kau tidak apa-apa, Jia?”Ibu mengetuk pintu kamarku lalu membukanya, duduk di samping kasur tempat aku duduk merenung.
“Entahlah, Bu.”jawabku lalu berdiri, berjalan keluar kamar.
Ibu mengikutiku,”Kau
kelihatan lebih murung dari biassanya. Apa ada sesuatu yang
terjadi?”Ibu membimbingku duduk di ruang makan. Kue bolu berwarna merah
dan hijau dengan indahnya masih berada di atas meja.
“Tidak, hanya saja
tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya.”aku menghela nafas, kue bolu menggodaku dengan warna dan
ukurannya. Aku yakin kue bolu itu pasti lembut, tapi nafsu makanku
tiba-tiba hilang.
“Mau berbagi dengan Ibu agar sedikit lebih ringan?”Ibu berdiri mengambil minuman untuk kami berdua.
“Aku tidak tahu,
Ibu. Aku rasa ini bukan sesuatu yang besar yang harus kubagi, tapi hal
ini sangat mengganggu stabilitas kehidupanku sekarang.”jawabku.
“Kau ini memang
tidak bisa serius ya, Jia. Sedang ada masalah, masih juga bisa
menggunakan kata-kata tidak tepat yang membuat ibumu ini tertawa.”Ibuku
bicara seperti itu sambil menahan tawa. Bayangkan, anaknya sedang pusing
memikirkan hal yang mengganggu tapi ibunya malah tertawa mendengar
anaknya bicara.
“Ah, Ibu. Anakmu ini
sedang serius, Ibu malah tertawa.”nafsu makanku kembali, aku ambil kue
bolu hijau yang ternyata memang lembut itu. Aku memakannya sedikit demi
sedikit. Rasanya benar-benar enak,“Ibu membuatnya sendiri?”
“Yang sangat
mengganggu stabilitas kehidupanmu saat ini pasti kue bolu itu, iya
kan?”reaksi Ibuku sungguh berlebihan, berkata seperti itu sambil kembali
menahan tawa,”Itu dari kakakmu, tadi dia mampir membawa bolu itu.”
“Dan dia tidak menungguku pulang?”aku berhenti mengunyah bongkahan besar kue bolu itu.
“Seperti kamu akan
akur saja dengan kakakmu. Ayo, ceritakan pada Ibu apa yang sangat
mengganggu stabilitas kehidupanmu sekarang.”masih saja Ibu berkata
sambil menahan tawa.
Aku benar-benar berhenti memainkan kue boluku,”Apa Ibu punya mimpi? Cita-cita waktu muda yang ingin Ibu raih?”
“Mimpi?
Cita-cita?”Ibu berhenti sebentar, seperti sedang mengingat ulang masa
mudanya dulu,”Itukah yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanmu
sekarang?”dan masih saja berkata seperti itu sambil menahan tawa.
“Ibu..”aku merajuk, mencoba membuatnya tetap berada di jalur serius (oke, memang bahasaku yang aneh, jangan tertawa ini serius).
“Kau tahu pasti bagaimana kakekmu, kan?”pertanyaan yang tak perlu jawaban tapi tetap saja ditanyakan.
“Tapi Ibu pasti
pernah terpikirkan untuk meraih sesuatu, kan? Bukankah itulah namanya
cita-cita?”aku memang tidak pandai bicara serius.
“Jika cita-cita dan
mimpi adalah pemikiran untuk meraih sesuatu yang ingin diraih, maka
jawan Ibu adalah ya, Ibu punya cita-cita.”Ibuku mulai serius dan ini
jadi sedikit menakutkan. Ada perasaan aneh mengganjal di dadaku.
“Apa itu?”aku jadi tidak sabar. Walau Ibu selalu terbuka pada kami, tapi kami tidak pernah mendengar tentang cita-cita Ibu.
“Ingin membahagiakan ayah dan ibu Ibu.”jawab Ibu singkat.
“Seperti itukah.”aku bingung. Itu bagian dari cita-cita ya.
“Kenapa? Ada apa? Apa kau punya cita-cita?”tanya Ibu penasaran, air mukanya sudah kembali normal tidak seserius tadi lagi.
“Well, Ayah
dan Ibu kan sudah merancang masa depan untukku, jadi aku tidak punya
sesuatu untuk diraih.”aku melanjutkan makan kue bolu, sekarang yang
berwarna merah.
“Kalau begitu kau harus merasa bahagia atas pilihan Ayah dan Ibu padamu.”Ibu meneguk minuman tehnya.
“Aku juga berencana
begitu. Tapi, tadi aku dipanggil guru BK karena aku menulis cita-citaku
adalah hidup dalam kecukupan secara finansial.”aku harus tetap
menyembunyikan kata “komik” bahkan dari Ibuku.
“Well, itu
memang cita-cita yang tidak bijak, Jia.”kata Ibu sambil mengaduk
minumannya,”Ngomong-ngomong, gurumu benar-benar memanggilmu karena hal
itu?”Ibu mulai pensaran.
“Aku juga heran.
Tapi tadi guruku benar-benar menceramahiku tentang cita-cita dan mimpi.
Aku mengantuk mendengarnya karena aku tahu aku tidak butuh ceramah dan
nasihat seperti itu. Tapi selama perjalanan tadi, tiba-tiba terpikir
olehku hal yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanku ini, Bu.”ah,
ah, aku bicara banyak. Ibuku menganga mendengar ceritaku ini,”Ibu…”aku
kembali merajuk menyadarkan Ibu.
“Ibu pikir, masa
depan anak harus dirundingkan masak-masak dengan orang tuanya demi
kebaikan bersama. Kau tahu kan, setiap orang tua pasti ingin anaknya
bahagia. Begitu juga dengan Ayah dan Ibu. Dan Ibu setuju dengan rencana
masa depan yang dibuatt Ayahmu untukmu. Kau tahu alasannya juga kan,
Jia?”
“Begitu juga yang
aku pikirkan. Tapi kemudian aku juga terpikir dengan kisah hidup orang
lain yang pernah kubaca dan kehidupan mereka sangat menyenangkan,
seperti berpetualang. Kadang aku menginginkannya, tapi setiap mengingat
bagaimana Ayah dan Ibu sangat menyayangiku, aku pikir pasti akan lebih
bahagia jika bisa melakukan apa yang Ayah dan Ibu nasihatkan padaku.”aku
menaruh kue boluku lalu meninggalkannya di meja.
“Bicaralah dengan
Ayahmu tentang hal ini kalau kau masih ragu.”khas tipikal Ibuku yang
setia dengan kata-kata suuami yang dihormatinya.
***
No comments:
Post a Comment