Saturday 28 April 2012

Kisah Ibu yang Mengkhawatirkan Anak Perempuan Keduanya Oleh: Wening

Sabtu pagi itu, anakku mengirim sebuah pesan yang tidak kumengerti. “Ibu, minggu depan aku mengajak tiga orang rekanku. Mereka ingin bertemu dengan Ayah dan Ibu. Hari Kamis aku pulang membantu Ibu melakukan persiapan untuk menyambut mereka. Oh ya, aku mengirimkan pakaian baru untuk Ayah dan Ibu. Apakah sudah sampai? Tolong dipakai saat tamu-tamuku datang. Aku ingin mengenalkan mereka pada Ayah dan Ibu. Mereka sangat penting untukku.” Ayah sudah pergi kerja satu jam yang lalu. Anak pertamaku, Ratna, sudah menikah dan sekarang tinggal dengan suaminya. Aku ingin menelepon Ratih menanyakan langsung apa maksud pesannya. Tapi dia pasti sedang sibuk. Ini hari aktif sekolah, pasti dia sedang mengajar. Dia baru bisa diganggu siang nanti. Jadi, aku melanjutkan aktivitasku sambil terus mencari jawaban siapa yang diundang anak keduaku itu.


*** ”Halo, Assalamu’alaikum.” Akhirnya Ratih mengangkat teleponku. ”Wa’alaikumsalam. Ada apa, Bu?” ”Ibu hanya ingin tanya, siapa tamu-tamumu besok? Ibu penasaran, Nak.” ”Calon besan dan menantumu, Bu.” lalu dia menutup telepon. Aku sangat kaget. Anak keduaku, Ratih, sejak kecil selalu berambisi untuk mengalahkan teman laki-lakinya. Dia selalu berhasil mengalahkan teman laki-lakinya berkelahi. Bahkan dalam pertandingan bola satu lawan satu. Aku sempat khawatir dengan keadaan Ratih yang seperti itu. Bahkan, pernah ketika kelas 6 SD dia bilang tak mau menikah. Itu membuatku semakin khawatir, jangan-jangan anakku penyuka sesama jenis. Tapi, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berlaku aneh yang menunjukkan bahwa dia penyuka sesama jenis. Kehidupannya normal-normal saja. Itu membuatku sedikit lega. Dan yang aku takutkan sekarang, jangan-jangan kekhawatiranku selama ini akan terjadi. Tiga orang tamu penting yang akan diperkenalkan dengan orang tuanya, calon besan dan calon menantu. Bagaimana bila ternyata calon menantuku itu perempuan. Tapi itu tak mungkin. Pastinya orang tua perempuan itu tidak setuju dengan pertemuan ini. Jadi, pastinya calon menantuku adalah seorang laki-laki. Ah, seharusnya aku tak memikirkan hal yang aneh-aneh sebelum tahu kepastiannya. Tapi, kenapa anakku terburu-buru menutup telepon jika calon suaminya adalah laki-laki. Dia tak pernah semalu itu sebelumnya. Aku masih saja berpikiran ngawur. Seharusnya aku gembira mendengar anakku akan mengenalkan calon suaminya. Umurnya sudah 25 tahun tapi, dia tak kunjung mengenalkan calonnya. Setiap menghadiri pertemuan keluarga, anakku Ratih yang akan menjadi sorotan. Kapan menikah adalah pertanyaan yang selalu bude dan bulek-nya lontarkan. Aku sebagai ibunya juga tak habis pikir dengan anakku sendiri. Sepupu-sepupu perempuannya rata-rata menikah di usia 23 tahun. Kakaknya malah menikah di usia 22 tahun. Tapi, anakku yang satu ini sudah 25 tahun belum juga menunjukkan tanda-tanda kasmaran. Ini membuatku makin khawatir. Apalagi anak keduaku ini jarang bercerita tentang teman-temannya, tentang siapa saja yang dia kenal. Dia anak yang kuat, secara fisik maupun mental. Walaupun tidak pernah bercerita tapi dia tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Dia selalu meminta ijin jika akan bepergian atau ingin melakukan sesuatu. Tapi hanya sebatas ijin, tidak menceritakan detailnya. Dan berita yang satu ini sangat mengejutkanku. Tiba-tiba saja sekarang dia akan mengenalkan calon suami dan calon mertuanya. Aku segera menelepon ayah. Selalu berusaha berpikir bahwa calon menantuku adalah seorang laki-laki. ”Halo, Assalamu’alaikum, Ayah.” sapaku terburu-buru. ”Wa’alaikumsalam, Ibu. Ada apa?” Ayah selalu terdengar tenang. ”Minggu depan anak kita akan memperkenalkan calon suami dan calon mertuanya.” aku benar-benar heboh, tak sabar menunggu tanggapan dari ayah. ”Siapa? Ratih?” bahkan ayah pun sama tak percayanya denganku. ”Yang mana lagi, Ayah. Anak kita hanya dua dan yang satu sudah menikah.” ”Benarkah?” tetap saja suara ayah setenang air di laut. ”Benar, Ayah. Anak kedua kita Ratih.” Aku senang ketika ayah juga sama kagetnya denganku. ”Dengan siapa, Bu?” pertanyaan sulit ini akhirnya harus kudengar. ”Ibu juga belum tahu.” kehebohanku mereda mendengar pertanyaan itu,”Tadi, Ratih menutup teleponnya begitu saja setelah menyatakan rencananya itu.” lanjutku.

*** ”Ibu, apa aku sudah kelihatan rapi?” Anakku ini pasti sangat gugup. Dan aku senang karena akhirnya dia menikah. ”Rapi dan cantik sekali.” Hari ini calon menantu dan calon besanku datang. Dua hari yang lalu Ratih pulang. Dia menceritakannya pada kami. Dan aku lega karena calon pendamping hidup anakku adalah laki-laki. Tapi, dia belum menceritakan banyak hal tentang calonnya ini. Dia hanya bercerita tentang pertemuan mereka. Anakku yang seorang guru SD di sebuah sekolah negeri di luar kota ini bertemu dengan calon suaminya yang seorang kepala sekolah muda yang akan bekerja di sekolahnya. Katanya, calon suaminya ini adalah anak seorang anak angkat. Tepat pukul sepuluh siang seperti yang dijanjikan, tamu kami datang. Mobil sedan merah menderu memasuki halaman rumah kami yang cukup luas. Aku dan ayah berdiri di teras menunggu tamu kami keluar mobil, sementara Ratih menghampiri mobil yang berhenti dan membukakan pintu mobil untuk calon ibu mertuanya. Aku dan ayah berpandangan saling kaget. Calon besan kami adalah orang Jepang. Mereka menghampiri dan menjabat tangan kami lalu membungkukkan badan. Kami balas membungkuk.

No comments:

Post a Comment