Saturday 28 April 2012

Little Life Cerpen oleh : Wening

 “Jia!”panggil Ibu dari dapur.
“Iya, tunggu sebentar, Bu.” Sepertinya Ibu sudah tak sabar lagi ingin aku segera datang.
Aku berjalan pelan menuju dapur tempat Ibu sedang memasak. Siang hari adalah waktu bagi Ibuku memasak untuk makan siang sekaligus makan malam.

“Hari ini mau masak apa Bu?”tanyaku setelah sampai di dapur. Sudah tersedia banyak jenis sayuran dan bumbu di meja dapur.
“Sayur sop saja ya, Jia. Tadi pagi kan sudah masak daging.”jawab Ibu sambil mengupas bawang.
“Uhm, baiklah.”jawabku sekenanya lalu mulai mengambil sayuran yang ada lalu membawanya ke sumur. Setiap siang aku selalu membantu Ibuku memasak. Itu membuatku hafal apa yang harus kukerjakan.
Memasak itu menyenangkan, tidak susah, tapi tetap tergantung perasaan. Kalau kita masak saat perasaan hati sedang marah, rasa masakannya akan campur aduk. Jika kita memasak saat perasaan hati sedang tidak bersemangat, rasa masakannya akan jadi hambar. Dan ketika perasaan kita terlalu senang saat memasak, rasa masakannya akan jadi terlalu asin. Aku sering mengalaminya di awal. Tapi sekarang tubuhku sudah mulai dapat mengingat takaran bumbu yang tepat agar rasa masakan enak.
Selain pandai memasak, aku juga pandai membereskan rumah. Ibu dan Ayahku selalu bilang bahwa anak perempuan harus pintar mengurus rumah demi masa depan tinggal bersama suami agar suami betah di rumah. Kakak perempuanku, Minah, sudah menikah dan kehidupannya terlihat sangat bahagia. Kakakku adalah seorang ibu rumah tangga yang setia pada suami dan sosok manager rumah tangga yang handal (haha..manager. Kau boleh tertawa kalau mau). Dia sudah punya satu anak sekarang, namanya Ical. Umurnya masih dua tahun dan dia sangat nakal. Kata Kakak, Ical tidak nakal, hanya terlalu aktif. Ibu dan Kakakku bilang menjadi ibu adalah kebahagiaan sejati seorang wanita. Aku tetap saja tak mengerti.
            Aku adalah seorang siswa SMA yang sedang gandrung membaca komik. Bagiku, membaca komik adalah kebahagiaan sejati. Bisa dibilang, asalkan aku bisa membaca komik selama sisa masa hidupku, aku pasti akan sangat bahagia. Terkadang perasaan bahagia itu datang ketika hal itu dilakukan sembunyi-sembunyi. Begitulah yang terjadi. Ayahku adalah seorang yang hidup di jaman kuno (teman-temanku yang bilang begitu). Ayah paling tidak suka melihat anak sekolahan yang kerjaannya hanya membaca komik, alih-alih membaca buku teks pelajaran untuk mempersiapkan masa depan. Bagiku masa depan itu pasti; kerja, menikah, punya anak, dan mungkin aku akan bisa mengerti kebahagiaan sejati seperti yang Ibu dan Kakakku katakan.
            Aku tidak mungkin membawa komik ke rumah atau Ayahku akan melarangku pulang sore. Pulang sore adalah waktu istimewa buatku. Aku tidak berbohong karena aku tidak mengatakan apa-apa, tapi Ayahku mengira setiap aku pulang sore karena aku mengikuti kegiatan organisasi di sekolah. Sebenarnya? Tentu saja tidak. Aku pulang lebih telat 2 jam dari jam pulang sekolah karena aku mampir ke rental komik terlebih dulu. Itu kebahagiaan terbesarku.
***
            Pelajaran Sastra Indonesia. Pelajaran ini mudah, kau tak perlu sampai mengerutkan dahi untuk memahami bahasa karena bahasa adalah alat komunikasi. Kau mengerti? Hahaha…
            Hari ini, guru Sastra kami sedang cuti karena sakit. Kasihan guruku itu, dia mengidap sakit bulanan jadi tiap bulan sekali dia pasti ijin tidak masuk mengajar kami. Guruku yang satu itu selalu mengatakan pada kami tentang keinginannya agar pemerintah membuat libur haid untuk wanita. Well, mungkin untuk yang haid hari pertamanya sakit hal itu penting. Tapi aku pasti senang kalau libur itu benar-benar ada.
            Guru pengganti-yang-tidak-tahu-banyak-harus-mengajar-apa itu masuk dengan memberikan tugas mengarang pada kami.
            “Karena Bu Fatma tidak mengajar hari ini dan aku tidak mendapat pesan apa-apa dari Beliau, jadi hari ini kalian mengarang saja. Keluarkan semua kemampuan berbahasa dan bersastra kalian dalam karangan ini. Pasti akan menyenangkan.”kata Guru pengganti. Dia adalah guru honorer yang kerjaannya menggantikan tugas guru yang sedang ada halangan hadir untuk mengajar. Kasihan dia, masih muda dan pekerjaannya sangat tidak menyenangkan. Sekolahku termasuk sekolah yang tidak membutuhkan terlalu banyak karyawan dan guru karena semua posisi sudah ada yang menempati.
            “Baik, Pak.”jawab kami serempak.
            “Apakah temanya bebas?”tanya salah satu teman sekelasku.
            “Hm…”Guru pengganti itu menyilangkan tangannya di perut, terlihat seperti sedang berpikir serius (aku heran kenapa dia harus terlalu serius memikirkan pertanyaan itu),”Aha…Bagaimana kalau temanya ‘Cita-cita’, tuliskan apa yang ingin kalian capai di masa depan. Bukankah sekarang sedang ngetren cerita-cerita yang bertemakan mimpi dan harapan. Kalau tulisan kalian bagus, siapa tahu ada yang mau mempublikasikannya.”Guru pengganti itu terlihat tersenyum puas dengan idenya. Sekarang aku paham kenapa dia jadi guru honorer.
            Dan sekarang, di sinilah kami sedang mengerjakan tugas mengarang yang katanya menyenangkan itu. Jika temanya adalah hal apa yang paling membahagiakan, aku pasti dapat mengerjakannya dengan lancar. Ada banyak hal yang bisa kutulis tentang komik dan betapa perasaan bahagia meletup dalam darahku setiap kali aku membacanya. Baiklah, memang tidak semua jenis komik dapat memberikan perasaan itu. Aku pernah membaca sebuah komik yang bercerita tentang masa orientasi sekolah dimana si tokoh utama naksir kakak tingkat yang mengospeknya, tapi aku sama sekali tidak menikmati cerita seperti itu, sangat membosankan.
            Jadi sekarang, apa yang aku tulis. Mungkin sebaiknya aku tulis saja bahwa cita-citaku adalah hidup bahagia dengan finansial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan cukup untuk membeli komik. Well, pada akhirnya itulah yang kutulis.
***
            Aku tidak tahu kalau guru BKku adalah orang yang kurang kerjaan. Kupikir dia terlalu sibuk untuk mengurusi hal remeh ini. Kau percaya, dia memanggilku gara-gara karanganku kemarin. Aku sangat tidak mengerti apa pentingnya mengurusi karanganku sementara masih banyak teman-temanku yang punya masalah lebih serius untuk mereka tangani, misalnya saja si Bobi gendut yang suka tidur di kelas, atau si Indra krempeng yang hobinya manjat pagar sekolah untuk membolos. Tapi tidak dengan guru BKku, mereka menganggap isi karanganku adalah masalah besar sampai mereka harus memanggilku.
            “Permisi.”kataku sambil mengetuk pintu kantor BK.
            “Ah, Jia. Ayo masuk. Duduklah dulu, aku sedang mengurusi surat keterangan kakak tingkatmu. Mereka akan mendaftar di perguruan tinggi. Betapa menyenangkannya membantu mereka meraih masa depan.”cericau guru Bkku.
            Aku masuk lalu duduk di sofa yang ada di dekatku. Kantor BK sangat mewah, ada sofa bagus di ruang tunggunya, sangat empuk dan nyaman. Mungkin untuk membangun kesan bahwa BK adalah tempat yang nyaman untuk ngobrol terutama untuk curhat permasalahan remaja dengan gurunya. Yapari, aku sangat tidak tertarik.
            Kantor BK ukurannya setengah kali lebih ukuran kantor Guru, tapi bisa dibilang cukup luas untuk menjadi kantor tiga orrang guru BK. Ruangan ini dibagi menjadi tiga; tempat duduk guru BK, ruang tunggu, dan ruang kerja guru BK. Mereka disekat hanya dengan dinding tripleks. Walaupun begitu, ruang tunggunya dibuat begitu mewah, serasa berada di rumah Anya si anak orang kaya dengan sofa bagus yang empuk, lukisan yang katanya membuatmu tenang, akuarium ikan yang memenuhi setengah dinding dekat pintu, dan tempat dispenser minum dengan gelas plastik dan cangkirnya. Bahkan ruangan ini punya karpet halus dan lembut. Aku pernah berpura-pura menjatuhkan pulpenku untuk meraba karpet itu dan rasanya benar-benar halus dan lembut.
            “Maaf, menunggu agak lama Jia. Ada banyak kakak kelasmu yang mendaftar di perguruan tinggi.”katanya dengan senyum penuh semangat dan mata berbinar, menyilaukan.
            Aku hanya mengangguk sambil membuat senyum simpul di bibirku.
            “Jadi, kau tahu kenapa aku memanggilmu kemari?”tanyanya memulai.
            “Tidak, Pak. Saya tidak yakin Bapak memanggil saya kemari hanya gara-gara karangan saya kemarin.”jawabku. langsung saja kukatakan padanya.
            “Ya, itu benar. Aku memanggilmu karena karanganmu itu.”jawabnya dengan air muka yang tak berubah, masih dengan mata berbinar dan senyum semangat yang menyilaukan itu. Aku penasaran, apakah guruku ini pernah redup.
            “Apa masalahanya, Pak?”tanyaku kemudian.
            “Ini serius, Jia.”
***
            Entah apa yang aku pikirkan sekarang. Hari ini aku merasa malas mampir ke rental komik. Akhirnya aku berjalan pulang ke rumah tepat waktu. Ibu menyambut dengan senyum hangat dan menawarkan kue bolu kesukaanku.
            “Tidak Ibu, terima kasih.”aku jawab dengan tidak semangat. Aku langsung menuju kamarku. Rasanya seperti dihujam tusukan pisau. Kata-kata guru BK yang tidak kumengerti tapi tiba-tiba saja mempengaruhiku dengan begitu kuatnya.
            “Kau tidak apa-apa, Jia?”Ibu mengetuk pintu kamarku lalu membukanya, duduk di samping kasur tempat aku duduk merenung.
            “Entahlah, Bu.”jawabku lalu berdiri, berjalan keluar kamar.
            Ibu mengikutiku,”Kau kelihatan lebih murung dari biassanya. Apa ada sesuatu yang terjadi?”Ibu membimbingku duduk di ruang makan. Kue bolu berwarna merah dan hijau dengan indahnya masih berada di atas meja.
            “Tidak, hanya saja tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.”aku menghela nafas, kue bolu menggodaku dengan warna dan ukurannya. Aku yakin kue bolu itu pasti lembut, tapi nafsu makanku tiba-tiba hilang.
            “Mau berbagi dengan Ibu agar sedikit lebih ringan?”Ibu berdiri mengambil minuman untuk kami berdua.
            “Aku tidak tahu, Ibu. Aku rasa ini bukan sesuatu yang besar yang harus kubagi, tapi hal ini sangat mengganggu stabilitas kehidupanku sekarang.”jawabku.
            “Kau ini memang tidak bisa serius ya, Jia. Sedang ada masalah, masih juga bisa menggunakan kata-kata tidak tepat yang membuat ibumu ini tertawa.”Ibuku bicara seperti itu sambil menahan tawa. Bayangkan, anaknya sedang pusing memikirkan hal yang mengganggu tapi ibunya malah tertawa mendengar anaknya bicara.
            “Ah, Ibu. Anakmu ini sedang serius, Ibu malah tertawa.”nafsu makanku kembali, aku ambil kue bolu hijau yang ternyata memang lembut itu. Aku memakannya sedikit demi sedikit. Rasanya benar-benar enak,“Ibu membuatnya sendiri?”
            “Yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanmu saat ini pasti kue bolu itu, iya kan?”reaksi Ibuku sungguh berlebihan, berkata seperti itu sambil kembali menahan tawa,”Itu dari kakakmu, tadi dia mampir membawa bolu itu.”
            “Dan dia tidak menungguku pulang?”aku berhenti mengunyah bongkahan besar kue bolu itu.
            “Seperti kamu akan akur saja dengan kakakmu. Ayo, ceritakan pada Ibu apa yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanmu sekarang.”masih saja Ibu berkata sambil menahan tawa.
            Aku benar-benar berhenti memainkan kue boluku,”Apa Ibu punya mimpi? Cita-cita waktu muda yang ingin Ibu raih?”
            “Mimpi? Cita-cita?”Ibu berhenti sebentar, seperti sedang mengingat ulang masa mudanya dulu,”Itukah yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanmu sekarang?”dan masih saja berkata seperti itu sambil menahan tawa.
            “Ibu..”aku merajuk, mencoba membuatnya tetap berada di jalur serius (oke, memang bahasaku yang aneh, jangan tertawa ini serius).
            “Kau tahu pasti bagaimana kakekmu, kan?”pertanyaan yang tak perlu jawaban tapi tetap saja ditanyakan.
            “Tapi Ibu pasti pernah terpikirkan untuk meraih sesuatu, kan? Bukankah itulah namanya cita-cita?”aku memang tidak pandai bicara serius.
            “Jika cita-cita dan mimpi adalah pemikiran untuk meraih sesuatu yang ingin diraih, maka jawan Ibu adalah ya, Ibu punya cita-cita.”Ibuku mulai serius dan ini jadi sedikit menakutkan. Ada perasaan aneh mengganjal di dadaku.
            “Apa itu?”aku jadi tidak sabar. Walau Ibu selalu terbuka pada kami, tapi kami tidak pernah mendengar tentang cita-cita Ibu.
            “Ingin membahagiakan ayah dan ibu Ibu.”jawab Ibu singkat.
            “Seperti itukah.”aku bingung. Itu bagian dari cita-cita ya.
            “Kenapa? Ada apa? Apa kau punya cita-cita?”tanya Ibu penasaran, air mukanya sudah kembali normal tidak seserius tadi lagi.
            “Well, Ayah dan Ibu kan sudah merancang masa depan untukku, jadi aku tidak punya sesuatu untuk diraih.”aku melanjutkan makan kue bolu, sekarang yang berwarna merah.
            “Kalau begitu kau harus merasa bahagia atas pilihan Ayah dan Ibu padamu.”Ibu meneguk minuman tehnya.
            “Aku juga berencana begitu. Tapi, tadi aku dipanggil guru BK karena aku menulis cita-citaku adalah hidup dalam kecukupan secara finansial.”aku harus tetap menyembunyikan kata “komik” bahkan dari Ibuku.
            “Well, itu memang cita-cita yang tidak bijak, Jia.”kata Ibu sambil mengaduk minumannya,”Ngomong-ngomong, gurumu benar-benar memanggilmu karena hal itu?”Ibu mulai pensaran.
            “Aku juga heran. Tapi tadi guruku benar-benar menceramahiku tentang cita-cita dan mimpi. Aku mengantuk mendengarnya karena aku tahu aku tidak butuh ceramah dan nasihat seperti itu. Tapi selama perjalanan tadi, tiba-tiba terpikir olehku hal yang sangat mengganggu stabilitas kehidupanku ini, Bu.”ah, ah, aku bicara banyak. Ibuku menganga mendengar ceritaku ini,”Ibu…”aku kembali merajuk menyadarkan Ibu.
            “Ibu pikir, masa depan anak harus dirundingkan masak-masak dengan orang tuanya demi kebaikan bersama. Kau tahu kan, setiap orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Begitu juga dengan Ayah dan Ibu. Dan Ibu setuju dengan rencana masa depan yang dibuatt Ayahmu untukmu. Kau tahu alasannya juga kan, Jia?”
            “Begitu juga yang aku pikirkan. Tapi kemudian aku juga terpikir dengan kisah hidup orang lain yang pernah kubaca dan kehidupan mereka sangat menyenangkan, seperti berpetualang. Kadang aku menginginkannya, tapi setiap mengingat bagaimana Ayah dan Ibu sangat menyayangiku, aku pikir pasti akan lebih bahagia jika bisa melakukan apa yang Ayah dan Ibu nasihatkan padaku.”aku menaruh kue boluku lalu meninggalkannya di meja.
            “Bicaralah dengan Ayahmu tentang hal ini kalau kau masih ragu.”khas tipikal Ibuku yang setia dengan kata-kata suuami yang dihormatinya.
***

No comments:

Post a Comment