Saturday 28 April 2012

SEBAB AKU PANTAS DIPILIH Cerpen: Wening

Aku mencoba berpikir. Aku mencoba menjabarkan semuanya. Kepedihan itu, kegembiraan itu, kebersamaan itu, rasa terharu itu, rasa jengkel itu. Sia-sia. 


***
Banyak potongan lagu sudah kunyanyikan. Aku masih belum puas. Aku belum mendapatkan feel-nya. Kuulangi lagi. Kali ini dengan suara keras. Masih sama. Hambar dan tak menemukan apa-apa.
            ”Sin, sini bantu ibu!” Samar-samar, teriakan ibu dari dapur terdengar. Aku tak memedulikannya. Aku belum mendapatkan feel-nya.
            “Sinta!” Panggilan yang lebih keras terdengar.
            “Ya, Bu! Ada apa?” balasku. Aku bosan mendengar teriakan itu. Aku tanggalkan earphone dari telingaku.
            “Bantu ibu, Nak!” Suaranya sedikit lebih pelan.
            “Sedang sibuk. Penting,” jawabku alasan.
Kupasang earphone-ku, lalu mulai kunyanyikan potongan-potongan lagu tadi. Aku ingin mendapatkan feel-nya sebelum melakukan apa-apa.
***
“Hah!” jantungku berdebar sangat kencang. Mimpi buruk itu terulang lagi.
Masih gelap. Tapi, jam di dinding sudah menunjukkan pukul lima pagi. Sudah saatnya bangun dan melaksanakan ibadah.
            “Sudah bangun? Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Suara ibu dari dapur membuatku terkejut.
            “Hmm…” Aku menyeka keringat yang keluar, lalu berjalan menuju kamar mandi.
***
 “Kakak, pulang sekolah jangan mampir ke mana-mana ya,” kata ibu sambil menyiapkan bekal untukku dan untuk kakak.
            “Ada apa, Bu?” Kakakku keheranan.
“Kemarin, ibu belikan sesuatu untuk kakak sebagai hadiah, karena menjadi juara kelas lagi.” Ibu riang mengatakannya.
“Wah, apa itu? Terima kasih,” jawab kakakku.
“Bagaimana denganku? Kemarin aku berhasil masuk SMP favorit dengan nilai tertinggi,” kataku merajuk.
“Wah, ibu lupa. Besok lain kali ibu belikan ya, Nak.” Seakan tak bersalah, dia tetap riang.
Sakit. Aku berusaha tetap tersenyum.
***
“Sinta, sini. Bantu kakak dan ibu masak!” Suara lembut dan renyah itu terdengar dengan intonasi riang. Kebahagiaan kudapati dari suara itu.
            “Ya, Kak, tunggu sebentar.” Suara kecil yang juga riang menyahut. Berlari kecil, ia melangkah menuju asal suara panggilan.
            “Lina mana?” tanya sang kakak.
            “Di kebun dengan Ayah. Mereka sedang menanam anggrek. Sttt… dari kemarin mereka gagal.” Lalu keduanya cekikikan.
            “Hayo, ada apa itu, kok berbisik?” Ibu yang tadinya mengiris bawang, kini bergabung dalam kegembiraan.
            “Ah, tidak,” sahut keduanya bersamaan, lalu saling tersenyum.
***
“Kak, bagaimana ini? Aku benar-benar tidak bisa.” Teriakan itu terdengar lagi. Suara kecil itu mengaung dan menghantuiku.
            “Cobalah mengendalikannya! Hei, belokkan ke kanan! Tidak! Lurus, luruskan!”Suaranya panik.
            “Aku sedang berusaha!”jawabku.
            “Ah, tidak!” Teriakan kami terdengar.
***
“Kakak! Kak, bangun, Kak!” teriakku terisak. Ketakutan melihat darah mengalir dari kepalanya.
            Kulihat sekeliling. Tak ada orang. Hanya sawah dan bebatuan.
            “Kak, bangun!”suara kecil menangis melihat semua itu.
            Kucoba mengalihkan motor dari badannya dengan tubuh kecilku. Kulihat bagian belakang kepalanya tanpa menyentuh kepala yang basah oleh darah. Batu besar menghantam kepalanya. Kurasakan napasnya. Tak teratur.
            “Kak…” Aku mulai menangis.
            Kutinggalkan dia dan motor itu. Aku berlari menuju rumah. Sepi.
            “Ibu! Ayah!” Sekuat tenaga kukeluarkan suaraku.
            Dari belakang terdengar suara sahutan, “Ada apa, Sin?”
            “Kakak… kakak…” Aku terengah.
            “Ada apa?” tanyanya cemas.
            Aku berlari sambil menarik tangannya. Tangannya yang bau khas bumbu dapur. Kutunjukkan jalan di mana kakakku terbaring kaku.
            “Ah, Rika!” jeritnya tak mampu kulupakan sampai kini.
            “Panggil ayahmu!” sambungnya.
            Aku percepat lariku, “Ayah… kakak, Yah! Di kebun pisang dekat sawah Paman Endo.” Aku tarik-tarik lengannya.
            ”Kau tunggu di sini, ajak Lina. Ayah akan ke sana,” katanya cepat lalu berlari.
***
“Ayah dan ibu kenapa berpisah?” tanyaku dengan suara polosku.
            “Kamu tak perlu tahu, anak bodoh.” Suara teriakan keras seorang ibu yang sangat marah. Sejak kejadian itu, ibu sering marah dan membentakku.
            Aku tertunduk.
            “Jangan marahi Sinta seperti itu!” bentak ayah balik.
            “Rika meninggal gara-gara anak bodoh ini.”
            “Lalu kenapa?”Ayah membelaku.
            Keduanya saling membentak. Aku dan Lina menangis di dalam kamar mendengarnya. Dadaku sesak.
***
“Assalamu’alaikum, Sinta. Pagi yang cerah karena kita berhasil naik ke kelas delapan.” Listi mengulurkan tangannya.
            Aku menggapai tangan itu, “Wa’alaikumsalam.”
            Aku duduk di sebelah Listi, teman baik dan sangat peduli padaku. Tapi malang baginya, yang lebih sering melihat senyum simpulku kurang dari yang dia harapkan.
“Kau murung lagi. Akhir-akhir ini, kau sering diam saja. Kenapa?” tanyanya peduli, seperti biasanya. Aku memberikan senyum simpulku untuk lima detik.
“Lagi-lagi…” Kecewa yang kudapat dari intonasinya.
“Oh, ya, hari ini kita jadi donor darah, kan?” tanyaku. Dia mengangguk.
“Hari ini sudah lama kutunggu.” Senyumku sedikit mengembang.
“Kau benar-benar akan melakukannya? Tapi apa mungkin boleh?” Dia bertanya dengan ketakutan.
Aku mengangguk penuh senyum dan keyakinan, “Akan aku lakukan apa pun yang terjadi.”
***
“Kumohon, periksalah sampel darahku, ya. Kau dokter yang hebat, bukan?” pintaku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Sebulan lalu aku melakukan donor darah.” Aku menatapnya dengan memelas.
“Baiklah. Lalu untuk apa?”
“Apakah ada sesuatu yang terjadi dalam tubuhku? Kumohon periksalah. Jangan beritahukan pada ibu tentang hal ini.” Kalimat terakhirku sebelum aku meninggalkan kantor bercat putih.
***
“Sinta! Ibu bosan denganmu. Kau kenapa? Katakan pada ibu!” Teriakan itu lagi.
Dan aku hanya akan diam.
“Jangan pergi ke kamarmu seperti beruang, sebelum kau jelaskan semuanya pada ibu!” Dia tarik lenganku. Menghentikanku menuju sarangku yang nyaman dan aman.
“Apa yang harus aku jelaskan?” kaaku tanpa intonasi dan ekspresi.
“Tentang apa yang membuatmu berubah. Kau sudah kelas XII, bersikaplah dewasa seperti seharusnya,” gertaknya.
Kulepas lenganku dari genggamannya.
Sarangku yang nyaman dan aman akan selalu melindungiku dari serigala pemangsa.
***
Dear Me,
”Kamu harus minta tolong pada orang yang kamu percaya. Jangan hanya kamu pendam apa yang kamu rasakan. Kesalahan bisa diperbaiki. Kamu berhak mendapat kebahagiaan dan terbebas dari tekanan. Kamu berhak mendapat pertolongan.”
Banyak yang mengatakan hal itu, tapi apa maknanya bagiku? Akankah aku mendapat bantuan cara menangani perasaan? Akankah aku bisa hidup normal tanpa rasa bersalah? Tak ada orang yang memberitahuku apa yang harus aku lakukan.
Jika waktu itu aku tidak meminta kakakku menemani belajar mengendarai motor, mungkin sekarang dia masih hidup, mungkin sekarang ayah dan ibu tidak berpisah, mungkin sekarang ibu tak bersitegang denganku, mungkin aku akan memiliki keluarga bahagia.
***
Suasana ramai. Aku mengantuk. Menyedihkan menjadi seorang tanpa teman di tengah keramaian.
Kupasang earphone. Kudengarkan lagu-lagu itu lagi. Gerakku terkunci dalam lagu. Tapi aku masih belum mendapatkan feel-nya. Terlalu banyak hip-hop dan rock, terlalu banyak sorak dalam kepalaku, tapi tak kudapati feel-nya.
Listi seorang yang peduli. Banyak buku di saku besarnya yang dia bawa. Dia hanya tahu bahwa dunia ini miliknya, dan dialah yang menguasai dunianya. Dia masih cuek menerima segala yang ada dalam dirinya. Kepercayaannya pada dirinya sendiri membuatnya berhasil menaklukkan dunianya. Banyak yang menyukainya, seperti aku menyukainya. Keramahannya, kepeduliannya, tak bisa ditolak. Dialah sahabat terbaik yang malang mempunyai sahabat sepertiku.
Aku takut, akankah dia pergi meninggalkanku selama aku dalam perjalanan mencari sesuatu yang hilang dalam diriku. Hanya dialah yang kumiliki di dunia ini.
***
“Sinta.” Aku mendengar suara. Listi.
            Aku membuka mata. Tak mampu merasakan apa-apa.
            “Kau pingsan. Sekarang ada di ruang UKS. Kau baik-baik saja?” tanya Listi.
            Aku mengangguk.
            “Badanmu panas. Kau demam?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. Kesadaranku belum pulih sepenuhnya. Aku kembali tak sadarkan diri.
***
“Sinta, ini masih sore, kenapa kau sudah tidur?” Suara ibu mengembalikan sedikit kesadaranku.
“Sinta.” Dia menghampiriku. Tangannya menyentuh dahiku.
“Ya, Tuhan, badanmu dingin sekali. Kau tak apa-apa?” tanyanya lagi. Terdengar cemas.
Aku tak apa-apa. Aku mau tidur. Besok pasti sudah sembuh,” jawabku. Aku kembali tidur.
Dia menyelimutiku.
***
“Maaf, saya terlambat,” kataku seraya masuk dalam ruangan bercat putih.
“Duduklah.. Hanya terlambat dua menit. Kumohon, gunakan bahasa sehari-harimu.” Itulah yang sering dia minta.
“Apakah ada perkembangan?” tanyaku.
“Statis.” Dia berdiri dari kursinya. Melangkah menuju jendela di dekatnya. Memasukkan tangannya ke saku jas putih yang dia kenakan setiap bekerja. Berbalik menghadapku.
Kukembangkan senyum.
“Bisa kauambil darahku lagi dan memeriksanya ulang?” pintaku.
Dia mengangguk. Dia mempersiapkan peralatannya. Kami berpindah tempat. Darahku diambil. Selesai. Sebentar lagi hasilnya pasti keluar sejak dua bulan kutunggu.
“Dua minggu kita tak bertemu. Kau mulai jarang mengunjungi Lina dan Ayah. Mau minum teh sore ini?” tanyanya. Kebiasaan yang belum hilang.
“Kupikir, ibu akan cemas bila aku pulang terlambat,” jawabku.
“Ibumu masih sama seperti dulu.”
Kembali aku hanya tersenyum simpul, “Aku permisi.”
Kutinggalkan kantor bercat-putihnya.
***
“Halo. Assalamu’alaikum.” Sebuah suara terdengar dari seberang telepon.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku..
“Sinta, ini Ayah. Kita harus bicara,” katanya cemas.
“Baik,” jawabku singkat. Telepon kututup.
            Aku sudah tahu apa yang terjadi. Tiga bulan lamanya sejak donor darah itu. Ini yang kutunggu.
***
”Sin, ibu nanti pulang malam. Ada sayur di atas kompor, nanti kamu panasi,” pesan ibu sebelum aku berangkat sekolah.
“Mau ke mana, Bu? Kok, pake baju serba hitam?”
“Menjenguk kakakmu.” Rriang dia menjawab. Bagus.
“Boleh aku ikut?” tanyaku.
“Tidak. Ibu ingin bicara berdua dengannya.” Riang ekspresi yang terlihat.
“Ibu pasti kerepotan membawa bunga tabur dan airnya.”
“Tidak apa-apa.” Ibu mengecup keningku lalu keluar.
***
“Bagaimana?” tanyaku, masuk ke kantornya.
“Keadaanmu semakin memburuk. Aku meneliti darahmu. Dan kau… aku menemukan virus HIV dan malaria. Oh Tuhan, bagaimana mungkin?”
Senyumku terkembang.
“Jawab pertanyaan ayah, Sinta!” kecemasannya tak bisa mempengaruhiku untuk tetap diam.
Aku tersenyum lebih manis.
“Bagaimana keadaan Lina?” tanyaku kemudian.
“Baik. Dia memang anak kesayangan ayah. Tapi kau juga.” Dia berdiri lalu menatapku. Seperti dulu, dia mudah beralih topik tentang Lina, anak kesayangannya.
“Baguslah. Aku permisi.” Aku keluar dengan senyum terkembang.
***
Jalanan ramai. Motor saling kebut, bahkan dengan bus dan truk. Aku ketakutan. Di tengah jalan ada seorang remaja dengan motornya. Terlalu cepat. Di belakangnya, bus dengan laju yang juga cepat ingin mendahului. Motor itu berbelok ke kanan, tanpa lampu tanda. Akhirnya, keduanya saling tabrak. Aku merinding.
***
“Sinta, kau tak apa-apa? Mana yang sakit, Nak?” Suara yang asing bagiku.
“Ibu…” Lemah aku bersuara.
“Bus yang kautumpangi menabrak motor dan kau terjungkal ke depan. Kata ayahmu, kau juga mengidap penyakit malaria. Tapi yang paling parah, kata Ayahmu, kau terkena,” katanya.
Aku memalingkan muka. Menutup mataku.
“Kenapa bisa?” tanyanya. Cemas dan marah kurasakan dalam suaranya yang bergetar.
“Jawablah, Sayang.” Sedikit melembut.
“Aku…donor darah waktu itu,” jawabku.
“Oh, Tuhan.” Dia sedikit menjerit.
Suasana hening sejenak. Kudapati air mata mengalir dari mata ibuku.
“Ibu…” Akhirnya semua yang sudah kutahan ingin keluar.
“Ya, Sayang.”
“Maafkan aku.” Aku meraih wajahnya, ingin mengusap air matanya.
“Atas apa?” Matanya berbinar menatapku penuh kasih.
“Kakak… gara-gara aku, kakak meninggal.” Aku tak bisa menahannya lagi. Semua perasaan itu berebut ingin keluar.
Tapi dia hanya diam saja. Menatap kosong entah ke mana.
“Seharusnya aku tidak perlu belajar mengendarai motor… dan semua kemalangan pada hidupmu, termasuk kehilangan kakak, tak akan terjadi,” kataku mulai merebakkan tangis.
“Sayang… itu bukan salahmu.” tangisnya pun mengalir. Mungkin tangis penyesalan.
“Maaf.” Aku memejamkan mata jasadku. Lalu aku membuka mata dan melihat bahwa tubuhku tidak lagi menjadi milikku.
“Sinta!” Jeritnya masih bisa kudengar.

SELESAI

No comments:

Post a Comment